Sabtu, 26 Mei 2012

Character Building dan Pendidikan Kita


“Character Building” dan Pendidikan Kita
March 4, 2007 at 2:48 am (Pendidikan Nasional)
Oleh Mochtar Buchori
Pendidik
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/26/opini/2836169.htm
===============================

Ungkapan character building kini sudah klise kosong, nyaris tidak
bermakna. Diucapkan para politisi, birokrat pendidikan, pemimpin
organisasi pendidikan, ungkapan ini tidak meninggalkan bekas apa-apa.

Ketika ungkapan ini diucapkan oleh Bung Karno dulu, oleh Mohamad Said
dari Taman Siswa, oleh St Takdir, oleh Soedjatmoko, ungkapan ini
meninggalkan bekas yang mendalam di hati saya. Ungkapan ini
menghidupkan harapan besar dalam hati saya.

Kini, kalau saya mendengar orang mengucapkan kata-kata ini, ia
berlalu begitu saja, tidak mampir di otak atau hati saya. Apakah
character building atau pembinaan watak kini sudah bukan masalah lagi
di Indonesia?



Ketika Bung Karno mengucapkan kata-kata ini, rasanya diucapkan dalam
konteks politik. Jadi yang dimaksud ialah watak bangsa harus
dibangun. Tetapi ketika kata-kata ini diungkapkan oleh para pendidik,
dari Ki Hajar Dewantara hingga Mohammad Said, konteksnya adalah
pedagogik. Yang dimaksudkan ialah pendidikan watak untuk para siswa,
satu demi satu. Bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selain
menjadi pintar juga menjadi manusia berwatak?

Pendidikan watak

Jika diuraikan seperti ini, masalah character building masih
merupakan suatu isu besar, bahkan amat besar. Semua kebobrokan yang
kita rasakan kini lahir dari tidak adanya watak yang cukup kokoh pada
diri kita bersama. Watak bangsa rapuh dan watak manusia Indonesia
mudah goyah. Saya kira jumlah orang yang jujur masih cukup banyak di
Indonesia, tetapi mereka tidak berdaya menghadapi kelompok kecil
manusia Indonesia yang korup, yang mempunyai kekuasaan atau
membonceng pada kekuasaan.

Jadi apa yang salah dengan pendidikan watak kita? Banyak
sekali! “Pendidikan watak” diformulasikan menjadi pelajaran agama,
pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran budi pekerti, yang program
utamanya ialah pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Paling-
paling mendalam sedikit sampai ke penghayatan nilai secara afektif.

Padahal, pendidikan watak seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai
secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata. Dari gnosis sampai ke praksis, istilah
pedagogiknya.

Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat penting
yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yang
sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut
conatio. Dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini
disebut langkah konatif.

Jadi dalam pendidikan watak, urut-urutan langkah yang harus terjadi
ialah langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan
menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara
konatif. Ini trilogi klasik pendidikan. Oleh Ki Hajar diterjemahkan
dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.

Berdasar analisis ini pendidikan watak pada dasarnya adalah
membimbing anak untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai.
Rumusan Profesor Phenix ialah “voluntary personal commitment to
values”. Dilihat dari sudut ini tidak akan terlalu sukar untuk
mengetahui kesalahan-kesalahan kita dalam menyelenggarakan pendidikan
watak.

Pelaksanaan

Kini, lihatlah cara kita melaksanakan pendidikan watak, terutama dari
segi evaluasi. Mengetahui kemajuan anak dalam aspek kognitif relatif
itu mudah. Nilai-nilai apa saja yang dikenal dan dipahami anak
mengenai berbagai hal dalam kehidupan? Nilai-nilai tentang pergaulan
sosial, tentang etos kerja, tentang kejujuran? Apa saja yang telah
diketahui dan dipahami anak tentang berbagai jenis nilai tadi?
Bagaimana mengevaluasi keberhasilan anak dalam mengenali dan memahami
nilai-nilai ini?

Jelas tidak dengan tes multiple choice (pilihan ganda) semata.
Bagaimana menilai kemajuan aspek afektif anak? Observasi dan catatan
hasil observasi adalah cara terbaik. Dan menilai kemajuan anak dalam
aspek praksis juga harus dilakukan dengan observasi yang sistematis.

Dilihat dari segi ini, kita tidak dapat menghindari kesan, pendidikan
watak di sekolah kita benar-benar amburadul. Saya mendapat kesan,
kita tidak sungguh-sungguh berusaha melaksanakan pendidikan watak.
Rupanya tidak ada tempat dalam kurikulum sekolah Indonesia untuk
melaksanakan pendidikan watak yang sebenarnya. Para guru bertanya,
untuk apa menghabiskan waktu dan tenaga untuk pendidikan watak? “Soal
watak kan tidak akan ditanyakan dalam ujian nasional!”

Kesan ini diperkuat cara penyelenggaraan ujian nasional. Hanya tiga
mata pelajaran yang diujikan, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
dan Matematika. Ketiga hal ini memang penting, tetapi siapa berani
mengatakan pendidikan watak tidak penting? Kiranya tidak ada! Namun,
ketentuan atas ketiga pelajaran menentukan lulus-tidaknya seorang
siswa dari ujian nasional berarti pemerintah memandang pendidikan
watak sama sekali tidak penting. Ujian nasional telah mengubur
pendidikan watak.

Mungkin ada yang mengatakan, mengevaluasi hasil pendidikan watak
dengan baik tidak mungkin dilakukan secara nasional, tetapi harus
secara lokal. Saya setuju! Tetapi kenyataannya, penilaian lokal tidak
diperhitungkan sama sekali. Kesimpulan saya, Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) menganggap pendidikan watak tidak penting. Itu
hanya suatu komoditas politik yang tidak perlu dianggap terlalu
serius. Selain itu, Depdiknas menganggap para guru yang tiap hari
mendampingi anak tidak memiliki informasi yang sah tentang
perkembangan murid, termasuk perkembangan wataknya.

Kini kita harus menentukan secara definitif, pendidikan watak di
sekolah itu penting atau tidak bagi masa depan bangsa dan negara?
Kalau penting, mari ditangani bersama dengan baik. Kalau kita
menganggapnya tidak penting lagi, karena sudah ada pelajaran agama,
kewarganegaraan, dan budi pekerti, ya sudah! Jangan ngomong lagi
tentang pendidikan watak. Jangan ngomong tentang nation and character
building.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar